Metafora awan
Kalau saja memori manusia bisa diunduh atau diunggah, aku mau mengunggah beberapa dan menghapusnya dari otak untuk sementara. Diunggah kemana ya, ke awan? Semoga awan lebih pandai menahan tangisan. Yang aku sisakan cuma catatan kecil di suatu pojokan di pikiranku, sebagai pengingat kalau aku pernah punya memori dengan beberapa orang yang pada suatu titik di hidupku memilih aku hapus memorinya. Siapa tau, di lain waktu aku ingin mengunduhnya kembali untuk mengingat memori baik dan buruknya.
Kalau hari-hari itu berakhir dengan cara yang beda, mungkin aku engga terlihat selalu kekurangan di beberapa mata. Everything comes and goes as they wish, even without goodbye. If this is how things are, I don't want to love anyone again. I'm just going to take a trip down my old memory lane. Hari-hari ternyata aku mulai membawa ketakutan ini kemana-mana.
Kalau ada hari dimana ketakutan itu terlalu dekat dengan nadi, aku akan membuka satu pintu. Ada orang sedang membedah bingkisan makanan yang dikirim Ibunya dari pulau sebelah. Di sebuah tempat kecil yang tidak mungkin terlihat dari atlas di dinding kamarnya. Akan terasa sempurna kalau saja ibu kostnya mau lebih memaklumi aku yang terlalu sering ketiduran sampai pagi. Iya, bu, salahku.
Dia juga yang akan menemani aku ke Utopia. Lagi-lagi di sebuah tempat kecil yang tidak mungkin terlihat dari atlasnya. Bersama tiga orang lainnya, di suatu sudut meja membicarakan betapa kita tidak punya bayangan dan beban. Meninggalkan perpisahan yang direncanakan di sudut paling belakang pikiran. Keempat orang ini, mereka juga sebentar lagi akan berakhir sebagai memori. Tapi mereka berbeda, akan aku simpan rapih dengan label khusus; muda dan lega. Aku mau melewati kekekalan untuk menemui mereka lagi di Utopia lainnya.
As someone once said to comfort me, it's not easy to forget even a handful of memories. A long time has passed but it keeps raining on me. I guess I'll see them again in my memory, forever.
Comments
Post a Comment