Nurul Kecil dan Pianonya

Nurul itu nama kecilku. Sejak kelas 4 SD ayah memasukkan aku ke les piano klasik. Aku memang suka musik sejak kecil, karena dulu ayah suka main keyboard bersamaku. Aku selalu dibiarkan menekan tuts semauku walaupun lagu ayah jadi berantakan. Sebenarnya aku menikmati sekali les piano dan main piano saat itu, sampai satu hari guru lesku diganti. Awalnya aku tidak keberatan guruku diganti, tapi ternyata bagaimana guru baru ini memperlakukan aku masih meninggalkan kesan sampai hari ini.

Aku sudah lupa nama guruku siapa, yang aku ingat adalah bagaimana dia tidak pernah mengapresiasi aku ketika aku berhasil mempelajari satu lagu. Aku excited banget kalau udah selesai main satu lagu tanpa ada salah. Karena genre lagu yang aku mainkan waktu itu adalah klasik, tiap ada lagu baru yang harus dimainkan aku harus sambil menerka-nerka alunan lagunya seperti apa. Belum lagi baca not balok yang ga segampang itu untuk anak umur 9 tahun.

Aku hanya butuh sedikit apresiasi dan kalimat "kamu udah cukup bagus", tapi biasanya aku akan dapat kalimat "ini untuk anak-anak makanya kamu bisa, coba yang ini" sambil ia buka lembar lagu yang lebih sulit. Caranya memanggil aku dengan sebutan kamu aja sudah bikin gemetar. Ayah bunda ga pernah tau tentang ini, karena Nurul kecil terlalu takut untuk bilang dan ga ngerti gimana harus menyampaikannya tanpa balik diinterogasi seperti itu semua salahku. Ditambah dengan bayangan ayah yang galak di benakku saat itu.

Nurul kecil dulu belum bisa memposisikan tangannya dengan struktur yang benar di atas tuts piano. Setiap hal itu terlihat oleh guruku, ia pasti komentar. "Kalau mainnya mau bagus posisi tangannya kaya gini". Sebenarnya mungkin hal wajar karena tugas guru memang mengarahkan siswanya supaya "benar", tapi aku jadi makin takut pada bapak itu tiap dia mengomentari posisi tanganku. Setiap selesai sesi les, kalimat terakhirnya selalu "lebih dilatih lagi ya" yang entah kenapa kesannya aku belum cukup baik. Kalimat itu selalu ada tiap akhir sesi les, aku ga pernah tau apakah aku sudah cukup baik atau tidak di mata dia. Sebenarnya ada buku jurnal progresnya gitu dari tempat lesnya, tapi dulu aku merasa aku butuh validasi dari guruku langsung. Lagi-lagi sedikit kata "kamu udh cukup bagus" kayanya yang aku harapkan untuk dengar waktu itu.

Aku pernah beberapa kali tampil di panggung. Selang beberapa detik sebelum naik panggung aku selalu gemetaran. Takut! Aku takut aku melakukan kesalahan selama di panggung. "Bapak itu akan bereaksi apa ya, kalau aku salah?". Aku benar aja ga diapresiasi, kalau aku salah lalu gimana? Padahal kalau sekarang diingat-ingat, bapak itu ga memarahi aku setelah turun panggung.

Aku ingat, panggung pertama yang aku naiki adalah panggung di Betha Center. Lokasinya di Subang, kalau sekarang udah jadi Hotel Betha. Aku melakukan beberapa kesalahan di lagu pertama, aku takut banget. Untungnya saat itu aku ga nangis, mungkin karena sudah cukup besar juga. Di sela-sela jeda lagu kedua, aku sempat diam dulu. Mau mencari bunda di kerumunan penonton tapi aku terlalu takut untuk melihat ke arah penonton, karena masih teringat kesalahan di lagu pertamaku.
"Mereka tau ga ya kalau aku salah mainnya?"
"Pasti mereka mikir aku ga bagus mainnya"
"Kenapa harus salah sih? Padahal selama latihan aku lancar"
Setelah diingat-ingat sekarang, penonton bahkan tidak sepeduli itu dengan lagu yang aku mainkan. Lagi-lagi, waktu itu ga banyak orang yang ngerti musik genre klasik. Plus, aku main piano ditengah keluarga-keluarga yang sedang asik makan siang, kira-kira siapa yang peduli dengan pemain pianonya? Boro-boro sadar kalau aku salah tekan tuts piano.

Ternyata hal kecil itu mempengaruhi percaya diri ku. Di panggung berikutnya, aku demam panggung total. Walaupun berakhir tanpa salah tapi setelahnya ada kejadian memalukan yang terjadi. Terlalu memalukan untuk ditulis disini. Sekarang sih bisa aku ceritakan sambil tertawa, tapi aku masih ingat segimana takutnya aku saat itu. Setelah seharian merasa demam panggung total, terjadilah hal memalukan lalu dihadapkan dengan ayahku dan bayangan galaknya serta semua kondisi yang ada saat itu.

Selang setahun kemudian, tempat lesku ini tutup karena pemiliknya berganti haluan untuk usaha rental band. Lesku masih berlanjut. Guruku yang didatangkan ke rumah dan semua ceritaku di atas terus-menurus terulang selama 3 tahun aku les. Tapi setelah itu akhirnya aku berhenti les, dengan perasaan "cukup, ga mau main piano lagi".

Kalau throw back melihat masa-masa itu, Shaskia yang sudah besar bangga sekali mengingat Nurul kecil bisa tampil depan banyak orang, tetap bisa melanjutkan penampilannya walaupun dengan semua rasa yang bikin ga nyaman. Ayah dan bundaku selalu cerita dengan nada bangga tiap mengenang hari itu. Sayangnya, kalau aku jujur cari tau apa yang Nurul kecil rasain waktu itu, aku cuma ingat rasa takut, tidak mengerti, nangis sendirian, dan keengganan pegang lagi piano depan orang lain.

Anak umur 9 tahun harus merelakan waktu bermainnya demi belajar memainkan lagu klasik yang tidak dia mengerti, yang bahkan ga bisa dia obrolin sama temen sebayanya karena mereka ga ngerti. Orangtuaku aja ga ngerti. Sebenernya ada satu teman dekatku semasa SD yang juga ikut les piano, tapi bukannya jadi teman sharing semua keresahan dia malah lebih terasa seperti saingan karena entah alasan apa dimana-mana aku selalu dibandingkan dengan dia. Belum lagi menghadapi guru dan orangtua yang engga pernah membahas hal itu sebagai suatu pencapaian. Sekarang aku mulai belajar untuk memaklumi posisi semua orang di ceritaku ini, termasuk memaklumi semua keresahan sendiri.

"Was I ever good enough?" pertanyaan yang dulu selalu aku tanyakan pada diri sendiri dalam konteks main piano. Sekarang, pertanyaan itu masih tetap sering aku tanyakan pada diri sendiri. Sayangnya cakupan pertanyaannya semakin luas. "Apakah aku pernah cukup baik melakukan hal apapun di dunia ini?". Aku yang sampai sekarang merasa tidak aman, merasa selalu butuh validasi dari orang lain. Semua rasa tidak percaya diri yang aku punya muaranya dari pengalaman Nurul kecil dan pianonya.

Aku rasa banyak pengalaman ga nyaman dari Nurul kecil yang jadi muara keresahan Shaskia hari ini. Kadang aku cuma pengen minta maaf karena Nurul harus melalui hari-hari ga nyaman, juga terimakasih karena terus memilih untuk tumbuh sampai Shaskia besar bisa ngetik cerita ini sekarang.

Untuk setiap hal yang dirasa engga terpenuhi dari orangtua dan lingkungan, semoga tiap rasa ga nyaman bisa termaafkan. Karena Shaskia besar butuh tenang. Untuk diriku sendiri, untuk waktu Shaskia yang masih panjang.

PS. Aku sudah mulai berani nunjukin "sisi musik" yang aku punya sama orang lain, ini dimulai sejak ada mapel musik di SMA. Aku berterimakasih sekali sama guru pengajar musikku.

Comments

Popular posts from this blog

Habit 10 Hari Akhir Ramadhan

Bapak

Menjadi "gapapa"