2019 Asem (Not Awesome)
Entah karena alasan apa, shaskia yang sedari awal anaknya emang perasa tahun ini jadi semakin perasa. Makin gampang terharu, makin ga tegaan, tapi senyumnya juga makin lebar. Di sisi lain sensitivitas itu ngajarin untuk memilah mana hal yang harus didahulukan, mana yang jadi prioritas kedua. Mana masukan, omongan, kritikan yang bisa didengar dan mana yang engga. Belajar enjoy aja walaupun ada yang mencoba mendefinisikan aku sebagai orang yang "tertinggal".
Kalo kata Dzawin (stand up comedian), buat apa mikirin omongan orang yang bahkan orangnya sendiri ga mikirin apa yang dia katakan. Ketika orang tidak sengaja mengatakan hal yang menyakitkan buat kamu, ketika orang bahkan tidak sadar bahwa ucapannya menyakitkan buat kamu, bukankah artinya orang tersebut tidak memikirkan omongannya sendiri? Lalu buat apa aku pusing-pusing mikirin omongannya? Orangnya pun ga mikirin omongannya sendiri. Biarlah si omongan ini pusing-pusing sendiri.
Silahkan definisikan aku sesuka kamu, lagi pula hidupku bukan untuk berkompetisi demi label "paling" atau selalu ingin dipandang baik. Hidupku untuk saling beriringan dengan orang lain yang punya tujuan sama denganku, termasuk tiap sisi baik dan buruknya.
Di tahun 2019 aku menemukan diriku sendiri banyak merubah sudut pandangnya, yang sepertinya masih akan tetap beradaptasi ke depannya. Di saat yang bersamaan, aku merasa telah menemukan "diriku" yang ternyata pada dasarnya selalu tetap sama meskipun banyak pemikiran yang berubah. Wow ajaib.
Belajar menerima diri sendiri dengan semua kurangnya, termasuk di masa-masa aku merasa insecure sama diri sendiri, kecewa, marah, dll. Karena yang aku rasakan, emosi negatif itu makin dilawan akan makin terasa kuat. Jadi, biarkan dia ada tapi harus diatur biar ga merusak diri sendiri apalagi sampai menahan diri dari terus berjalan. Lalu emosi negatif itu lama-lama akan mereda dengan sendirinya. Kalau emosi negatif itu nyatanya merusak kamu, percayalah nanti juga kamu sembuh. Yang penting, kamu belajar dari tiap prosesnya. Dari patah yang terasa perih itu, pasti ada pelajaran. Ingat bahwa semua hal butuh proses dan proses memakan waktu. Mie yang instan aja butuh digodok dulu, kamu pun gitu.
Ada sebuah keengganan yang membawa perubahan baik sepertinya (sih?). Enggan untuk berekspektasi, jadi sekarang entah kenapa kalo lagi menghadapi sesuatu, yang kepikiran duluan selalu kemungkinan terburuknya sementara kemungkinan terbaiknya datang belakangan. Bukan apa-apa, tapi biar ada antisipasi. Dari keengganan untuk berekspektasi itu, aku belajar menerima definisi berserah yang mana sangat berbeda dengan definisi menyerah. InsyaAllah, ga akan kenal menyerah tapi selalu berserah.
Satu lagi, belajar menerima rasa sepi ketika sedang tidak berkawan karena manusia akan selalu datang dan pergi kecuali diriku sendiri dan orang-orang yang menungguku di rumah. Mereka abadi, jikapun jasadnya berhenti membersamai.
Kalo kata Dzawin (stand up comedian), buat apa mikirin omongan orang yang bahkan orangnya sendiri ga mikirin apa yang dia katakan. Ketika orang tidak sengaja mengatakan hal yang menyakitkan buat kamu, ketika orang bahkan tidak sadar bahwa ucapannya menyakitkan buat kamu, bukankah artinya orang tersebut tidak memikirkan omongannya sendiri? Lalu buat apa aku pusing-pusing mikirin omongannya? Orangnya pun ga mikirin omongannya sendiri. Biarlah si omongan ini pusing-pusing sendiri.
Silahkan definisikan aku sesuka kamu, lagi pula hidupku bukan untuk berkompetisi demi label "paling" atau selalu ingin dipandang baik. Hidupku untuk saling beriringan dengan orang lain yang punya tujuan sama denganku, termasuk tiap sisi baik dan buruknya.
Di tahun 2019 aku menemukan diriku sendiri banyak merubah sudut pandangnya, yang sepertinya masih akan tetap beradaptasi ke depannya. Di saat yang bersamaan, aku merasa telah menemukan "diriku" yang ternyata pada dasarnya selalu tetap sama meskipun banyak pemikiran yang berubah. Wow ajaib.
Belajar menerima diri sendiri dengan semua kurangnya, termasuk di masa-masa aku merasa insecure sama diri sendiri, kecewa, marah, dll. Karena yang aku rasakan, emosi negatif itu makin dilawan akan makin terasa kuat. Jadi, biarkan dia ada tapi harus diatur biar ga merusak diri sendiri apalagi sampai menahan diri dari terus berjalan. Lalu emosi negatif itu lama-lama akan mereda dengan sendirinya. Kalau emosi negatif itu nyatanya merusak kamu, percayalah nanti juga kamu sembuh. Yang penting, kamu belajar dari tiap prosesnya. Dari patah yang terasa perih itu, pasti ada pelajaran. Ingat bahwa semua hal butuh proses dan proses memakan waktu. Mie yang instan aja butuh digodok dulu, kamu pun gitu.
Ada sebuah keengganan yang membawa perubahan baik sepertinya (sih?). Enggan untuk berekspektasi, jadi sekarang entah kenapa kalo lagi menghadapi sesuatu, yang kepikiran duluan selalu kemungkinan terburuknya sementara kemungkinan terbaiknya datang belakangan. Bukan apa-apa, tapi biar ada antisipasi. Dari keengganan untuk berekspektasi itu, aku belajar menerima definisi berserah yang mana sangat berbeda dengan definisi menyerah. InsyaAllah, ga akan kenal menyerah tapi selalu berserah.
Satu lagi, belajar menerima rasa sepi ketika sedang tidak berkawan karena manusia akan selalu datang dan pergi kecuali diriku sendiri dan orang-orang yang menungguku di rumah. Mereka abadi, jikapun jasadnya berhenti membersamai.
Comments
Post a Comment