Pilihan paling aman
Aku menyadari satu hal. Ternyata semakin bertambah lama aku diam di dunia, semakin aku merasa semua hal tidak ada yang tetap apalagi pasti. Termasuk dalam pertemanan, ga selamanya orang yang membuat kita nyaman bercerita akan tetap terasa nyaman untuk dijadikan tempat bercerita. Para extrovert di luar sana mungkin bisa relate, rasanya sangat butuh support system alias orang lain sebagai coping mechanism, entah sebagai tempat curhat aja atau bener-bener tempat cari solusi. Punya orang yang bisa selalu denger keluhan kita itu sangat melegakan, tapi lain cerita kalo ternyata dari orang yang sama muncul rasa sakit baru yang ga kalah warbiasa.
Memilih sendiri sepertinya jadi pilihan yang paling aman. Maksudnya memilih sendiri itu bisa macem-macem, tapi yang aku maksud disini memilih untuk menyimpan semuanya sendiri. Bukan untuk mengisolasi diri dari lingkungan, pertemanan tetap berjalan seperti biasanya, tapi lebih memilih merasakan dan menyimpan semua hal sendirian. Kecuali pada lingkaran-lingkaran tertentu dan hanya pada waktu-waktu tertentu, aku akan cerita seperlunya.
Sebenernya selalu merasa terdorong untuk mengutarakan betapapun manis atau pahitnya apa yang ada dipikiran, tapi terkadang ada hal-hal yang aku tau kalo diomongin langsung akan bikin orangnya sakit. Ketika aku melampiaskan sakitku tapi sakitnya pindah ke orang lain, itu agak gimana ya.. ngebayanginnya aja ga tega.
Sebisa mungkin selalu menghindari menyakiti orang lain tapi kalo aku yang tersakiti mah beda cerita. Selalu merasa bertanggung jawab atas rasa sakitnya orang lain, tapi selalu auto menarik diri kalo tersakiti dan berlagak seperti semua itu salahku. Padahal, selalu ada banyak sisi dari setiap masalah. Pun ketika memilah siapa yang salah. Pastinya bukan cuma salahku, orang lain yang terlibat pun mungkin punya kontribusi atas kesalahan itu. Yang sering aku lupakan adalah kesalahan ada bukan untuk disesali tapi sebagai bahan pertimbangan untuk hal yang akan kita lakukan selanjutnya.
Lagi-lagi memilih sendiri sepertinya jadi pilihan yang paling aman bagi seorang penakut seperti aku. Takut konsekuensi ina inu, padahal dicoba aja belum. Tapi salahkah pilihanku itu, kalo didasari sebagai usaha melindungi diri sendiri dari rasa sakit? Terlebih, karena aku sudah beberapa kali merasakan ujung pahit yang sama. Salah sih kayanya wakakak karena di banyak waktu, aku merasa jadi menutup diri dari banyak hal.
Kedepannya, sepertinya masih tetap lebih memilih mengalah pada rasa sepi. Kayanya emang manusia akan selalu kalah sama rasa kesepian, ga akan pernah menang kalau dilawan. Apalagi kalo kesepian karena baru mengalami kehilangan. Tapi selalu ada pilihan untuk tumbuh dari rasa sepi. Bertumbuh aja terus sampai kita ga sadar kalau ternyata kita sudah lebih besar dari rasa sepi yang kita rasakan. Sampai rasanya, kesepian itu kecil banget kaya kerikil di jalanan yang yaudaah cukup tau aja kalo kerikil itu ada dan keberadaannya ga akan menahan kita untuk terus berjalan. Pilihan untuk tetap berjalan adalah pilihan untuk tumbuh.
Semoga selama dalam perjalanan untuk tumbuh, aku bisa menemukan satu orang yang selalu bisa jadi tempat pulang dan berbagi semuanya berdua. Semoga ada satu manusia seperti itu yang mau menemani aku. Semoga ada.
Memilih sendiri sepertinya jadi pilihan yang paling aman. Maksudnya memilih sendiri itu bisa macem-macem, tapi yang aku maksud disini memilih untuk menyimpan semuanya sendiri. Bukan untuk mengisolasi diri dari lingkungan, pertemanan tetap berjalan seperti biasanya, tapi lebih memilih merasakan dan menyimpan semua hal sendirian. Kecuali pada lingkaran-lingkaran tertentu dan hanya pada waktu-waktu tertentu, aku akan cerita seperlunya.
Sebenernya selalu merasa terdorong untuk mengutarakan betapapun manis atau pahitnya apa yang ada dipikiran, tapi terkadang ada hal-hal yang aku tau kalo diomongin langsung akan bikin orangnya sakit. Ketika aku melampiaskan sakitku tapi sakitnya pindah ke orang lain, itu agak gimana ya.. ngebayanginnya aja ga tega.
Sebisa mungkin selalu menghindari menyakiti orang lain tapi kalo aku yang tersakiti mah beda cerita. Selalu merasa bertanggung jawab atas rasa sakitnya orang lain, tapi selalu auto menarik diri kalo tersakiti dan berlagak seperti semua itu salahku. Padahal, selalu ada banyak sisi dari setiap masalah. Pun ketika memilah siapa yang salah. Pastinya bukan cuma salahku, orang lain yang terlibat pun mungkin punya kontribusi atas kesalahan itu. Yang sering aku lupakan adalah kesalahan ada bukan untuk disesali tapi sebagai bahan pertimbangan untuk hal yang akan kita lakukan selanjutnya.
Lagi-lagi memilih sendiri sepertinya jadi pilihan yang paling aman bagi seorang penakut seperti aku. Takut konsekuensi ina inu, padahal dicoba aja belum. Tapi salahkah pilihanku itu, kalo didasari sebagai usaha melindungi diri sendiri dari rasa sakit? Terlebih, karena aku sudah beberapa kali merasakan ujung pahit yang sama. Salah sih kayanya wakakak karena di banyak waktu, aku merasa jadi menutup diri dari banyak hal.
Kedepannya, sepertinya masih tetap lebih memilih mengalah pada rasa sepi. Kayanya emang manusia akan selalu kalah sama rasa kesepian, ga akan pernah menang kalau dilawan. Apalagi kalo kesepian karena baru mengalami kehilangan. Tapi selalu ada pilihan untuk tumbuh dari rasa sepi. Bertumbuh aja terus sampai kita ga sadar kalau ternyata kita sudah lebih besar dari rasa sepi yang kita rasakan. Sampai rasanya, kesepian itu kecil banget kaya kerikil di jalanan yang yaudaah cukup tau aja kalo kerikil itu ada dan keberadaannya ga akan menahan kita untuk terus berjalan. Pilihan untuk tetap berjalan adalah pilihan untuk tumbuh.
Semoga selama dalam perjalanan untuk tumbuh, aku bisa menemukan satu orang yang selalu bisa jadi tempat pulang dan berbagi semuanya berdua. Semoga ada satu manusia seperti itu yang mau menemani aku. Semoga ada.
Comments
Post a Comment