Sehari Bersama Mahasiswi Psikologi
Beberapa hari yang lalu baru aja ketemu mahasiswi S2 psikologi buat bantu dia sebagai responden psikotes. Awalnya dikira akan tes tulis psikotes pada umumnya, karena sebelumnya pernah juga beberapa kali ikut psikotes tertulis untuk bantu mahasiswa S1 psikologi. Ternyata tesnya lisan dan super baru deh, belum pernah psikotes kaya gitu sebelumnya.
Awalnya aku dimintain tolong sama seorang mahasiswi yang ga sengaja ketemu di masjid raya Unpad, untuk bantu dia jadi responden psikotes di praktikum mata kuliahnya. Ternyata aku berhalangan hadir di tanggal yang diminta lalu akhirnya dipindah jadwal ke kakak yang lain. Aku ga berekspektasi apa-apa sih, karena dari awal bayangan aku adalah tes psikotes tertulis kaya tes-tes yang pernah aku lakukan sebelumnya, dan kakaknya juga ga ngejelasin banyak. Aku cuma diminta jadi "responden psikotes". Udah, gitu aja
Orang yang tes aku ini keren deh, biodata aku yang awalnya cuma selembar kertas bisa dikulik, digali, dibahas jauh sampai ke relasi antara keluarga dan masalah perskeripsian. Kalo hari itu tujuannya bukan untuk psikotes, yakin sih bisa dikulik lebih dalem lagi. Untungnya engga, karena aku bisa nangis depan dia (yang mana sebenernya fine aja wkwk).
Ajaibnya aku bisa cerita semua ke dia, tanpa sungkan dan tanpa ada yang terlewat. Bahkan kayanya kakak itu adalah orang pertama yang pernah aku ceritain tentang masalah keluarga selengkap itu. Sejujurnya kalo udah ngebahas masalah keluarga ini, biasanya aku purely males cerita, takut orang yang aku ceritain punya asumsi lain tentang orangtuaku dan purely males membuka lembaran itu. Karena jujur masih sakit, lukanya belum sepenuhnya pulih (aku udah berusaha sebisaku untuk ikhlas dan memaafkan). Sementara sama kakak yang tes aku itu, aku bisa cerita semuanya. Padahal kita baru ketemu detik itu juga, sebelumnya cuma ngobrol lewat chat di Whatsapp. Dan sedikit cerita-cerita pas kakaknya nemenin aku sarapan.
Jadi karena psikotesnya lama (5 jam lebih), kakaknya menyarankan aku untuk sarapan dulu sebelum tes, tapi aku ga sempat sarapan malah langsung caw ke gedung 2 Fapsi Unpad. Nah pas di tempat, aku malah disuruh sarapan wkwk takut pingsan katanya (lebay ga sih pingsan☹). Disitu ngobrol-ngobrol dikit. Kakaknya curhat tentang gimana dia hampir DO selama S1 psikologi, aku ga berani tanya lebih dalem soalnya takut dia jadi ga tenang selama psikotes.
Keren deh, how she can understand my position so well, padahal semua hal diobrolinnya detik itu juga. Greget banget pengen break down cara dia berpikir kaya gimana. Kok bisa, ngerti kondisi orang secepet itu dan sebaik itu? Bisa ngasih rasa aman dan percaya sama orang asing sampai orang asingnya mau cerita fully ke dia. Asumsiku, karena di awal dia menekankan beberapa kali kalau apapun yang aku omongin saat itu ga akan digunakan untuk hal lain dan dibicarakan dengan orang lain selain untuk kepentingan praktikum dan dengan orang yang berkaitan dengan proses praktikumnya.
Keren gimana dia tetep bisa ngomong dengan sangat tenang walaupun aku nyeritainnya udah mulai ngegas. "Oke kayanya ini udah terlalu berat, kita pindah ke topik lain dulu ya" gitu cenah
bisa diterapkan di kehidupan sehari-hari yey kalo lagi ngobrol biasa sama orang, makasih ilmu implisitnya wkwk.
Di waktu yang lain, dia bicara dengan nada yang tegas, yang aku asumsikan untuk menarik perhatian aku biar fokus lagi. Fun fact, psikotes lisan itu super cape padahal inti tesnya adalah ngemeng tentang diri sendiri. Dari yang aku baca di internet, psikotes itu bisa sangat melelahkan karena konsepnya kaya lagi proses operasi bedah. Cuma kalo psikotes yang dibedah adalah jiwanya.
Sangat jarang nemu pendengar kaya kakak calon psikolog itu. Pantesan di luar sana banyak orang yang rela bayar mahal demi ngobrol sama mereka, para psikolog. Sebagai seorang manusia, pekerjaan mereka sangat membantu manusia lainnya untuk tetap bertahan menjadi manusia.
Awalnya aku dimintain tolong sama seorang mahasiswi yang ga sengaja ketemu di masjid raya Unpad, untuk bantu dia jadi responden psikotes di praktikum mata kuliahnya. Ternyata aku berhalangan hadir di tanggal yang diminta lalu akhirnya dipindah jadwal ke kakak yang lain. Aku ga berekspektasi apa-apa sih, karena dari awal bayangan aku adalah tes psikotes tertulis kaya tes-tes yang pernah aku lakukan sebelumnya, dan kakaknya juga ga ngejelasin banyak. Aku cuma diminta jadi "responden psikotes". Udah, gitu aja
Orang yang tes aku ini keren deh, biodata aku yang awalnya cuma selembar kertas bisa dikulik, digali, dibahas jauh sampai ke relasi antara keluarga dan masalah perskeripsian. Kalo hari itu tujuannya bukan untuk psikotes, yakin sih bisa dikulik lebih dalem lagi. Untungnya engga, karena aku bisa nangis depan dia (yang mana sebenernya fine aja wkwk).
Ajaibnya aku bisa cerita semua ke dia, tanpa sungkan dan tanpa ada yang terlewat. Bahkan kayanya kakak itu adalah orang pertama yang pernah aku ceritain tentang masalah keluarga selengkap itu. Sejujurnya kalo udah ngebahas masalah keluarga ini, biasanya aku purely males cerita, takut orang yang aku ceritain punya asumsi lain tentang orangtuaku dan purely males membuka lembaran itu. Karena jujur masih sakit, lukanya belum sepenuhnya pulih (aku udah berusaha sebisaku untuk ikhlas dan memaafkan). Sementara sama kakak yang tes aku itu, aku bisa cerita semuanya. Padahal kita baru ketemu detik itu juga, sebelumnya cuma ngobrol lewat chat di Whatsapp. Dan sedikit cerita-cerita pas kakaknya nemenin aku sarapan.
Jadi karena psikotesnya lama (5 jam lebih), kakaknya menyarankan aku untuk sarapan dulu sebelum tes, tapi aku ga sempat sarapan malah langsung caw ke gedung 2 Fapsi Unpad. Nah pas di tempat, aku malah disuruh sarapan wkwk takut pingsan katanya (lebay ga sih pingsan☹). Disitu ngobrol-ngobrol dikit. Kakaknya curhat tentang gimana dia hampir DO selama S1 psikologi, aku ga berani tanya lebih dalem soalnya takut dia jadi ga tenang selama psikotes.
Keren deh, how she can understand my position so well, padahal semua hal diobrolinnya detik itu juga. Greget banget pengen break down cara dia berpikir kaya gimana. Kok bisa, ngerti kondisi orang secepet itu dan sebaik itu? Bisa ngasih rasa aman dan percaya sama orang asing sampai orang asingnya mau cerita fully ke dia. Asumsiku, karena di awal dia menekankan beberapa kali kalau apapun yang aku omongin saat itu ga akan digunakan untuk hal lain dan dibicarakan dengan orang lain selain untuk kepentingan praktikum dan dengan orang yang berkaitan dengan proses praktikumnya.
Keren gimana dia tetep bisa ngomong dengan sangat tenang walaupun aku nyeritainnya udah mulai ngegas. "Oke kayanya ini udah terlalu berat, kita pindah ke topik lain dulu ya" gitu cenah
bisa diterapkan di kehidupan sehari-hari yey kalo lagi ngobrol biasa sama orang, makasih ilmu implisitnya wkwk.
Di waktu yang lain, dia bicara dengan nada yang tegas, yang aku asumsikan untuk menarik perhatian aku biar fokus lagi. Fun fact, psikotes lisan itu super cape padahal inti tesnya adalah ngemeng tentang diri sendiri. Dari yang aku baca di internet, psikotes itu bisa sangat melelahkan karena konsepnya kaya lagi proses operasi bedah. Cuma kalo psikotes yang dibedah adalah jiwanya.
Sangat jarang nemu pendengar kaya kakak calon psikolog itu. Pantesan di luar sana banyak orang yang rela bayar mahal demi ngobrol sama mereka, para psikolog. Sebagai seorang manusia, pekerjaan mereka sangat membantu manusia lainnya untuk tetap bertahan menjadi manusia.
Comments
Post a Comment