Hidup Setelah Mereka Bercerai
Di hidup manusia pasti ada titik dimana ada orang yang disayang pergi dengan menginggalkan kesedihan. Mungkin lama-kelamaan kesedihan itu akan ikut terkubur dengan waktu, tapi kita tau ia tetap ada disana. Bedanya mungkin engga begitu perih, kaya awal-awal. Bagi aku orang itu adalah bunda. Iya, perempuan yang melahirkan aku, yang ternyata nasib berkata kami harus berpisah rumah. Waktu itu entah kenapa bunda lebih memilih meninggalkan aku dan adikku di rumah sama ayah, dan bunda pergi ke rumah nenekku untuk menetap disana. Jaraknya memang ga jauh dan yang bikin sedih bukan tentang berpisah rumahnya, tapi kehilangan momen-momennya. Mungkin ada yang ga kebayang gimana rasanya jadi anak yang orangtuanya bercerai. Bersyukur, artinya keluargamu baik-baik aja. Bagi yang mengerti gimana rasanya, gapapa. Kita tumbuh dari pengalaman ini.
Akan ada momen pas kita mau berkunjung ke rumah orangtua yang tidak kita tinggali dan untuk itu harus minta izin ke orang tua yang rumahnya kita tinggali. Belibet yak and yes, ternyata berpengaruh juga rumah orangtua mana yang kita tinggali. In my case, berarti rumah bunda. Kasarnya, mau ketemu orangtua harus dapet izin dari orangtua satunya lagi. Waktu bunda masih tinggal di Subang, ga banyak kesulitan untuk ketemu. Ayahku kerja kantoran, jadi kalaupun ga dapet izin ke rumah bunda, aku bisa diam-diam menyelinap waktu ayah lagi kerja dengan alasan sambil beli makan kek, atau apalah hahaha. Tapi ayah ga pernah ngelarang kok, waktu itu. Sekarang bundaku tinggal di Bali, pulang ke Subang sesekali kalau ada hari besar atau acara keluarga penting. Udah ga kehitung berapa kali bunda minta untuk dikunjungi di Bali, tapi yaa gimana. Aku ga dapet izin dari ayah dan in this case aku ga mungkin menyelinap diam-diam ke Bali, kan? Jadinya aku selalu bilang kalau aku mau nyelesaiin skripsi dulu, yang sebenernya bukan bohong tapi half truth alias jujurnya setengah. Intinya aku nutupin alasan karena ayah ga ngizinin. Kadang aku sebel dilarang-larang gitu, I mean aku udah pernah ke luar negeri sendirian terus kenapa ayah masih khawatir kalau aku travel antar pulau? Tapi namanya orangtua, mungkin ada pertimbangannya sendiri. Jadi ya udah, sampai sekarang aku belum bisa memenuhi permintaan bunda untuk dikunjungi di Bali.
Hal berat lainnya adalah pas ada di masa-masa keluarga entah nenek, kakek, om, tante, dan orangtua kita, akan curhat tentang pendapat mereka ke masing-masing pihak. Pihak ayah mengomentari pihak bunda, dan sebaliknya. Aku sebagai anak paling besar harus bisa nempatin diri. Jangan seolah terlalu membela salah satu pihak, tapi jangan diem aja kalau ada pihak yang terlalu dijelekkan. Sebisa mungkin jaga supaya tetep jelas mana yang fakta dan bukan fakta. Kedengarannya simpel kan? Tapi kalau udah dijalanin beda coy sensasinya, apalagi ngadepin omongan emak-emak yang pedesnya masyaAllah. Semua orang sibuk menganalisa siapa yang paling salah. Mereka lupa, ada aku dan Iyo yang diam-diam tersakiti denger omongan mereka yang entah sengaja atau engga menjelekkan orangtua kami.
Buat aku, hal terberat adalah ketika aku sadar adikku yang waktu itu baru mau SMP akan kehilangan masa-masa tumbuh dengan bunda. Sedih banget rasaya, aku kebayang Iyo akan tumbuh tanpa bunda dan aku tau kalau peran orangtua itu harus ada di pertumbuhan anak. Kayanya terlalu berat kalau ayah harus merangkap dua peran, terlebih ayah punya pekerjaan yang lumayan demanding. Aku yang waktu itu masih umur 17 tahun pun ga paham harus gimana soal itu, apalagi aku juga ternyata waktu itu lagi mengalami krisis tersendiri.
Berada di masa-masa dimana kamu diminta mengerti banyak orang, ada kemungkinan besar kamu melupakan dirimu sendiri. Aku gitu. I'm trapped in my own mind. Gimana caranya beradaptasi tanpa bunda, berbaikan sama Iyo yang waktu itu masih jadi temen berantem tiap hari, cara beradaptasi dengan Jatinangor dan dunia kuliah, beradaptasi dengan kesibukan teman-teman dekat, kondisi ayah yang waktu itu sedang melemah, kondisiku yang juga sedang gampang sakit, bunda yang tinggal sendirian, banyak dah. The list goes on. Banyak banget kan, sampai aku lupa nanya kabar diri sendiri. Gimana perasaanku ditinggal bunda, kondisi mentalku?
Tapi yaa, semua itu sudah terlewati. Kalaupun Shaskia waktu itu pilih jalan yang salah but here I am. Aku tumbuh dari pengalaman suckit itu dan aku udah bisa ikhlas menerima pengalaman itu sebagai bagian hidupku. Bukan berarti semuanya udah selesai, aku masih harus memperbaiki diri yang menurut aku kurang banyak kena "damage" dari pengalaman itu. My trauma of relationship. Hidup ku sebagai manusia. Masih banyak. Oh how great is life, indeed it's a sarcasm.
But right now, I know that I can enjoy everything as much even at times I'm not okay. I'm proud of who you've become, Shas. Keep going.
Berada di masa-masa dimana kamu diminta mengerti banyak orang, ada kemungkinan besar kamu melupakan dirimu sendiri. Aku gitu. I'm trapped in my own mind. Gimana caranya beradaptasi tanpa bunda, berbaikan sama Iyo yang waktu itu masih jadi temen berantem tiap hari, cara beradaptasi dengan Jatinangor dan dunia kuliah, beradaptasi dengan kesibukan teman-teman dekat, kondisi ayah yang waktu itu sedang melemah, kondisiku yang juga sedang gampang sakit, bunda yang tinggal sendirian, banyak dah. The list goes on. Banyak banget kan, sampai aku lupa nanya kabar diri sendiri. Gimana perasaanku ditinggal bunda, kondisi mentalku?
Tapi yaa, semua itu sudah terlewati. Kalaupun Shaskia waktu itu pilih jalan yang salah but here I am. Aku tumbuh dari pengalaman suckit itu dan aku udah bisa ikhlas menerima pengalaman itu sebagai bagian hidupku. Bukan berarti semuanya udah selesai, aku masih harus memperbaiki diri yang menurut aku kurang banyak kena "damage" dari pengalaman itu. My trauma of relationship. Hidup ku sebagai manusia. Masih banyak. Oh how great is life, indeed it's a sarcasm.
But right now, I know that I can enjoy everything as much even at times I'm not okay. I'm proud of who you've become, Shas. Keep going.
Comments
Post a Comment